070243100_1736405332-1736397843909_perbedaan-pendapatan-dan-penghasilan.jpg

Perbedaan Pendapatan dan Penghasilan, Memahami Konsep Keuangan Penting

Memahami perbedaan antara pendapatan dan penghasilan adalah langkah awal yang penting. Namun, lebih dari itu, kemampuan untuk mengelola keduanya dengan efektif sangat crucial untuk kesuksesan finansial, baik bagi individu maupun bisnis. Berikut adalah beberapa tips untuk mengelola pendapatan dan penghasilan dengan baik:

1. Diversifikasi Sumber Pendapatan

Jangan hanya mengandalkan satu sumber pendapatan. Diversifikasi dapat membantu menstabilkan aliran kas dan mengurangi risiko. Untuk individu, ini bisa berarti memiliki pekerjaan sampingan atau investasi. Untuk bisnis, ini bisa berarti mengembangkan berbagai lini produk atau layanan.

2. Monitor dan Analisis Secara Teratur

Lakukan pemantauan rutin terhadap pendapatan dan penghasilan Anda. Analisis tren, identifikasi area yang perlu perbaikan, dan ambil tindakan berdasarkan temuan Anda. Gunakan alat manajemen keuangan atau software akuntansi untuk memudahkan proses ini.

3. Fokus pada Margin Keuntungan

Meningkatkan pendapatan tidak selalu berarti meningkatkan penghasilan. Fokus pada peningkatan margin keuntungan dengan mengelola biaya secara efektif dan meningkatkan efisiensi operasional.

4. Rencanakan untuk Fluktuasi

Pendapatan dan penghasilan dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu. Rencanakan untuk ini dengan membangun dana cadangan atau memiliki rencana kontingensi untuk periode-periode sulit.

5. Investasikan Kembali untuk Pertumbuhan

Gunakan sebagian dari penghasilan Anda untuk investasi yang dapat meningkatkan pendapatan di masa depan. Ini bisa berupa peningkatan keterampilan, pembelian peralatan baru, atau ekspansi bisnis.

6. Optimalkan Struktur Pajak

Pahami implikasi pajak dari berbagai jenis pendapatan dan penghasilan. Manfaatkan strategi perencanaan pajak yang legal untuk mengoptimalkan beban pajak Anda.

7. Kelola Arus Kas dengan Bijak

Pendapatan yang tinggi tidak selalu berarti arus kas yang sehat. Pastikan Anda memiliki sistem yang efektif untuk mengelola piutang dan utang, serta menjaga likuiditas yang cukup.

8. Tetapkan Target yang Realistis

Tetapkan target pendapatan dan penghasilan yang menantang namun realistis. Gunakan target ini sebagai motivasi dan tolok ukur kinerja.

9. Edukasi Diri Terus Menerus

Terus pelajari tentang manajemen keuangan, tren industri, dan strategi bisnis. Pengetahuan yang up-to-date dapat membantu Anda membuat keputusan yang lebih baik dalam mengelola pendapatan dan penghasilan.

10. Konsultasikan dengan Profesional

Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan akuntan, konsultan pajak, atau penasihat keuangan profesional. Mereka dapat memberikan wawasan berharga dan membantu Anda mengoptimalkan strategi keuangan Anda.


Source link

1739251232_080700200_1709635134-20240305-Pelaporan_SPT-ANG_4.jpg

Meski Telat, Lapor SPT Pajak Tetap Wajib Dilakukan?

Apa yang terjadi jika saya tidak melaporkan SPT sama sekali?

Jika tidak melaporkan SPT, wajib pajak bisa dikenakan denda, sanksi bunga, hingga ancaman pidana.

Bisakah saya melaporkan SPT secara manual?

Ya, wajib pajak dapat melaporkan SPT secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat jika tidak bisa menggunakan layanan online.

Bagaimana cara membayar denda keterlambatan SPT?

Denda dapat dibayarkan melalui bank yang bekerja sama dengan DJP, ATM, atau melalui kantor pos.

Apakah saya bisa mengajukan keberatan atas denda keterlambatan?

Dalam beberapa kasus, wajib pajak dapat mengajukan keberatan dengan alasan tertentu melalui permohonan resmi ke DJP.

Apakah terlambat satu hari tetap kena denda?

Ya, denda akan tetap dikenakan meskipun keterlambatan hanya satu hari setelah batas waktu pelaporan.


Source link

072334700_1736821095-e8016300-3ead-49ca-b4ac-b746832d5c4b.jpg

Ditjen Pajak Pastikan Implementasi Coretax DJP Tak Ditunda

Penerapan sistem Coretax per 1 Januari 2025 untuk penerimaan negara menghadapi keluhan sulitnya menerbitkan faktur pajak. Terlebih faktur pajak wajib disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, sistem Coretax sebetulnya sangat bagus untuk diterapkan. 

Hanya saja, sistem administrasi pajak tersebut kerap mengalami kendala teknis pada masa implementasi awal. Sehingga turut mempengaruhi operasional perusahaan. 

“Cuma prosesnya kemarin itu agak cepat ya, jadi banyak pelaku enggak siap dan juga banyak yang enggak bisa mengeluarkan faktur. Sehingga mempengaruhi dari segi operasional perusahaan,” kata Shinta di Four Seasons Hotel, Jakarta, Senin (10/5/2025).

Menurut dia, kelompok pengusaha terus berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan agar bisa menjalankan skema pelaporan pajak ini. Shinta pun berharap berbagai kendala yang dialami Coretax tidak sampai mempengaruhi jumlah penerimaan negara dari pajak. 

“Semoga tidak. Saya cuma bisa jawab semoga tidak,” ujar dia. 

 


Source link

014627000_1724415869-20240823_151044.jpg

Coretax Belum Berjalan Mulus, Apindo Harap Penerimaan Pajak Tak Kena Imbas

Liputan6.com, Jakarta – Penerapan sistem Coretax per 1 Januari 2025 untuk penerimaan negara menghadapi keluhan sulitnya menerbitkan faktur pajak. Terlebih faktur pajak wajib disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, sistem Coretax sebetulnya sangat bagus untuk diterapkan. 

Hanya saja, sistem administrasi pajak tersebut kerap mengalami kendala teknis pada masa implementasi awal. Sehingga turut mempengaruhi operasional perusahaan. 

“Cuma prosesnya kemarin itu agak cepat ya, jadi banyak pelaku enggak siap dan juga banyak yang enggak bisa mengeluarkan faktur. Sehingga mempengaruhi dari segi operasional perusahaan,” kata Shinta di Four Seasons Hotel, Jakarta, Senin (10/5/2025).

Menurut dia, kelompok pengusaha terus berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan agar bisa menjalankan skema pelaporan pajak ini. Shinta pun berharap berbagai kendala yang dialami Coretax tidak sampai mempengaruhi jumlah penerimaan negara dari pajak

“Semoga tidak. Saya cuma bisa jawab semoga tidak,” ujar dia. 

Ungkapan senada juga sempat disampaikan Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar. Ia menilai, meskipun DJP telah memulai penerapan sistem Coretax dengan baik, tapi ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Terutama dalam hal sosialisasi dan persiapan yang matang.

“Jadi, saya rasa DJP memulai ini sudah cukup baik, namun persiapan dan sosialisasinya ini harus lebih ditekankan lah,” kata Sanny saat ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Menurut dia, meskipun sistem ini menawarkan banyak potensi untuk memperbaiki sistem perpajakan dan memperluas basis wajib pajak, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait dengan penerbitan faktur dan prosedur perpajakan lainnya.


Source link

034205400_1735290097-Pajak.jpg

Sri Mulyani Rilis PMK 11 Tahun 2025 Terkait PPN

Liputan6.com, Jakarta – Kementerian Keuangan resmi menerbitkan peraturan mengenai ketentuan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak dan besaran tertentu pajak pertambahan nilai (PPN).

Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2025 (PMK Nomor 11 Tahun 2025) tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan itu ditetapkan pada 4 Februari 2025 oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati. Demikian seperti dikutip dari laman jdih.kemenkeu.go.id, Senin (10/2/2025).

PMK 11/2025 resmi mengubah aturan perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), khususnya terkait dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain. Aturan ini menggantikan PMK Nomor 75/PMK.03/2010 dan revisi terakhirnya, PMK 121/PMK.03/2015. Perubahan ini membawa sejumlah dampak signifikan bagi wajib pajak di Indonesia.

Dalam PMK 11 Tahun 2025 ini menimbang sejumlah hal. Pertama, memberikan kepastian hukum dalam penghitungan pajak pertambahan nilai dengan menggunakan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain dan besaran tertentu pajak pertambahan nilai, perlu menyesuaikan beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pajak pertambahan nilai.

Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah paeban di dalam daerah pabean, dan pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Selanjutnya, mengatur pengecualiaan penghitungan pajak pertambahan nilai dengan menggunakan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain dan besaran tertentu pajak pertambahan nilai yang telah diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Dengan mempertimbangkan hal itu, melalui PMK 11 Tahun 2025 ini perlu ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai.

 


Source link

1739164043_080833100_1422933463-Ilustrasi-Pajak-150203-andri.jpg

Isi Lengkap Aturan Pajak PMK 11 tahun 2025, Bahas Aturan Terbaru Soal PPN

Dampak langsung dari penerapan PMK 11 Tahun 2025 ini terletak pada cara penghitungan PPN. Perubahan ketentuan yang berlaku membuat penghitungan PPN menjadi lebih mudah dan efisien, karena penghitungan dasar pengenaan pajak (DPP) kini lebih terstruktur dan jelas. Dalam hal ini, tarif PPN tetap dikenakan sebesar 11%, namun untuk beberapa jenis transaksi yang melibatkan barang atau jasa tertentu, DPP dihitung dengan menggunakan dasar yang lebih menguntungkan, yakni 11/12 dari harga jual atau transaksi.

Sebelum diberlakukannya PMK 11 Tahun 2025, perhitungan pajak yang terutang untuk transaksi dengan barang atau jasa yang diberikan cuma-cuma dilakukan dengan cara yang lebih kompleks dan sering kali membingungkan. Dengan adanya perubahan ini, pengusaha tidak lagi harus khawatir tentang penghitungan yang rumit dan dapat lebih fokus pada pengembangan bisnis mereka. Sebagai contoh, jika sebelumnya penghitungan PPN terutang pada transaksi senilai Rp5.000.000 dengan pengurangan laba kotor dihitung sebesar Rp500.000, maka sekarang dengan PMK 11/2025, pajak yang terutang akan lebih rendah, memberikan keuntungan bagi pengusaha.

Dalam contoh tersebut, dengan aturan baru ini, DPP yang dihitung menjadi lebih kecil, yang pada gilirannya akan mengurangi besaran PPN yang harus dibayar. Hal ini memberikan dampak positif bagi pelaku usaha, terutama bagi mereka yang sering melakukan transaksi barang dan jasa dengan nilai lebih rendah.


Source link

097576500_1738993582-20250207_115432.jpg

BKD Kota Depok Pasangi Plang Bagi ke Tempat Usaha yang Belum Bayar Pajak

Liputan6.com, Jakarta Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Depok menindak tegas kepada pelaku usaha yang belum membayar pajak, atau menunggak Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).

Kepala BKD Kota Depok, Wahid Suryono mengatakan, BKD Kota Depok mendapati sejumlah wajib pajak dari pelaku usaha belum membayarkan kewajibannya. Di mana total ada 15 obyek.

Atas tunggakan tersebut, BKD Kota Depok memasangi plang penanda belum membayar pajak dan meminta wajib pajak segera membayarkannya.

 “Ada 15 objek pajak yang belum membayarkan kewajibannya,” ujar Wahid saat dikonfirmasi Liputan6.com, Sabtu (8/2/2025).

Dia menjelaskan, sebanyak 15 objek pajak yang belum melunasi kewajiban membayar pajak tersebar di sejumlah wilayah. Adapun wilayah tersebut meliputi Kecamatan Pancoran Mas, Beji, Cinere, Limo, Bojongsari, Sawangan, dan Cilodong.

“Total tunggakan pajak yang belum dibayarkan sekitar Rp16,34 miliar,” jelas Wahid.

Para pelaku usaha yang belum membayar pajaknya hingga dipasangi plang, itu lantaran menunggak dalam waktu yang lama. Berdasarkan catatan, beberapa di antaranya sudah menunggak sejak 2006 hingga 2024.

“Kategori penunggak pajak itu ada yang hotel, pabrik, apartemen, kost kostan, dan perorangan,” ucap Wahid.

BKD Kota Depok belum mengetahui secara pasti penyebab para pelaku usaha tidak membayarkan objek pajak. Menurutnya, pajak yang dibayarkan para pelaku usaha dapat menjadi pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Alasan para wajib pajak tidak membayarkan kewajibannya karena finansial dan lainnya,” terang Wahid.

 

 


Source link

7200_1736821021-DALL__E_2025-01-14_09.15.21_-_An_illustration_of_Indonesia_s_Coretax_system._Depict_a_modern_digital_system_with_interconnected_nodes_and_servers__representing_tax_data_flow_across.jpg

DJP Rilis Perbaikan Coretax Lapor SPT Pajak, Simak Rinciannya

Liputan6.com, Jakarta Memasuki awal tahun, pelaporan surat pemberitahuan atau SPT tahunan pajak kembali diselenggarakan.

Sebagai informasi, batas waktu pelaporan SPT Tahunan orang pribadi dijadwalkan pada 31 Maret dan pelaporan SPT Tahunan badan jatuh pada 30 April.

Seperti diketahui, bukti potong pajak menjadi dokumen penting yang harus dilampirkan para wajib pajak dalam SPT tahunannya.

Seiring dengan implementasi sistem administrasi pajak atau coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, penerbitan bukti potong kini dapat dilakukan melalui sistem tersebut.

3 Skema Potongan

Menurut keterangan Ditjen Pajak terkait Pembaruan Informasi Terkini Implementasi Coretax DJP nomor KT-05/2025 tertanggal 4 Februari 2025, pembuatan bukti potong PPh pada aplikasi Coretax DJP dapat dilakukan melalui tiga skema.

Skema pertama, adalah input manual untuk setiap bukti potong (key in) di Coretax DJP. Kemudian, mengunggah file *.XML pada akun wajib pajak pemberi penghasilan untuk wajib pajak dalam jumlah besar (massal).

Selanjutnya, adalah melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP).

“Perlu kami sampaikan bahwa dalam hal NIK penerima penghasilan belum terdaftar dalam sistem Coretax DJP, pembuatan bukti potong tetap dapat dilakukan dengan menggunakan NIK tersebut. Pembuatan bukti potong akan dilakukan dengan menggunakan NPWP sementara (temporary TIN) yang disediakan oleh sistem,” tulis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (7/2/2025).

Namun, perlu diingat bahwa penggunaan NPWP sementara tersebut memiliki konsekuensi yaitu bukti potong yang dibuat tidak akan terkirim ke akun wajib pajak penerima penghasilan sehingga tidak akan masuk (tidak akan ter-prepopulated) ke SPT Tahunan penerima penghasilan.

“Oleh karena itu, agar penerima penghasilan dapat melaporkan SPT-nya dengan bukti potong ter-prepopulated pada SPT-nya, kami mengimbau kepada penerima penghasilan untuk segera mengaktivasi akunnya di Coretax DJP,” terang DJP.

 


Source link

056879300_1738918853-IMG-20250207-WA0010.jpg

3 Kebijakan Donald Trump yang Diwaspadai BI

Lebih lanjut, Juli menjelaskan bahwa kebijakan pajak juga memiliki dampak yang signifikan, terutama dalam hal pemberian insentif kepada korporasi di AS.

Pengurangan pajak ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan permintaan domestik. Namun, pengurangan pajak juga berarti meningkatnya defisit fiskal AS.

“Tax ini implikasinya dua, karena dia mendorong pertumbuhan ekonomi ya tentunya juga akan meningkatkan inflasi. Tetapi di sisi lain karena dia memotong tax berarti defisitnya meningkat yang berarti harus melakukan pembiayaan lebih besar,” jelasnya.

Menurutnya, dengan defisit yang lebih tinggi, pemerintah AS akan membutuhkan pembiayaan yang lebih besar, yang pada gilirannya akan mendorong kenaikan yield atau imbal hasil dolar AS, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Hal ini menciptakan ketidakpastian di pasar global, terutama bagi negara-negara berkembang yang bergantung pada aliran modal dari luar.

“Hasilnya ini berdampak ke yield, imbal hasil USD, baik itu yang jangka pendek, jangka panjang. Jadi, ini juga akan berpengaruh terhadap kenaikan yield USD karena kenaikan defisitnya,” ujar Juli.

 


Source link

051214800_1738730626-1738724631843_ppn-adalah.jpg

PPN adalah: Panduan Lengkap Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia beserta jawabannya:

1. Apa perbedaan antara PPN dan PPnBM?

PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) adalah dua jenis pajak yang berbeda namun sering dibahas bersama:

  • PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri. PPN bersifat umum dan dikenakan pada sebagian besar transaksi jual beli.
  • PPnBM adalah pajak tambahan yang dikenakan atas penjualan barang-barang tertentu yang dianggap mewah. PPnBM hanya dikenakan pada barang-barang spesifik yang termasuk dalam kategori barang mewah.

Perbedaan utama terletak pada objek pajak dan tarif yang dikenakan. PPN memiliki tarif yang lebih rendah dan cakupan yang lebih luas, sementara PPnBM memiliki tarif yang lebih tinggi dan hanya dikenakan pada barang-barang tertentu.

2. Bagaimana cara menghitung PPN yang harus dibayar?

Perhitungan PPN yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) melibatkan beberapa langkah:

  1. Hitung PPN Keluaran: Jumlah penjualan x Tarif PPN (11%)
  2. Hitung PPN Masukan: Jumlah pembelian x Tarif PPN (11%)
  3. Hitung selisih antara PPN Keluaran dan PPN Masukan
  4. Jika PPN Keluaran lebih besar dari PPN Masukan, selisihnya adalah PPN yang harus disetor ke negara
  5. Jika PPN Masukan lebih besar dari PPN Keluaran, selisihnya adalah kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan restitusi

Contoh perhitungan:

PPN Keluaran: Rp100.000.000 x 11% = Rp11.000.000PPN Masukan: Rp80.000.000 x 11% = Rp8.800.000PPN yang harus disetor: Rp11.000.000 – Rp8.800.000 = Rp2.200.000

3. Apakah semua perusahaan wajib memungut PPN?

Tidak semua perusahaan wajib memungut PPN. Hanya perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang wajib memungut PPN. Kriteria untuk menjadi PKP adalah:

  • Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.
  • Pengusaha yang secara sukarela memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP meskipun omzetnya belum mencapai Rp4,8 miliar.

Perusahaan yang belum mencapai batas omzet tersebut atau tidak memilih untuk menjadi PKP tidak wajib memungut PPN, namun juga tidak dapat mengkreditkan PPN Masukan.

4. Apa yang dimaksud dengan Faktur Pajak?

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) ketika melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Faktur Pajak berfungsi sebagai:

  • Bukti pungutan PPN
  • Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan bagi pembeli
  • Alat kontrol bagi Direktorat Jenderal Pajak

Faktur Pajak harus memuat informasi tertentu seperti nama, alamat, dan NPWP penjual dan pembeli, jenis barang atau jasa, jumlah harga jual, dan jumlah PPN yang dipungut. Saat ini, Indonesia telah menerapkan sistem e-Faktur untuk pembuatan Faktur Pajak secara elektronik.

5. Bagaimana cara melaporkan PPN?

Pelaporan PPN dilakukan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Langkah-langkah pelaporan PPN meliputi:

  1. Mengumpulkan seluruh dokumen transaksi, termasuk Faktur Pajak Keluaran dan Masukan
  2. Menghitung jumlah PPN Keluaran dan PPN Masukan
  3. Mengisi formulir SPT Masa PPN, baik secara manual atau melalui aplikasi e-Faktur
  4. Melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan
  5. Menyampaikan SPT Masa PPN ke Kantor Pelayanan Pajak atau secara online melalui e-Filing

Batas waktu pelaporan SPT Masa PPN adalah akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan pelaporan dapat mengakibatkan sanksi administrasi.

6. Apa yang dimaksud dengan PPN Masukan dan PPN Keluaran?

PPN Masukan dan PPN Keluaran adalah dua konsep penting dalam sistem PPN:

  • PPN Masukan adalah PPN yang dibayar oleh PKP ketika membeli Barang Kena Pajak atau menerima Jasa Kena Pajak dari pihak lain.
  • PPN Keluaran adalah PPN yang dipungut oleh PKP ketika menjual Barang Kena Pajak atau memberikan Jasa Kena Pajak kepada pihak lain.

Dalam mekanisme PPN, PKP dapat mengkreditkan PPN Masukan terhadap PPN Keluaran. Selisih antara keduanya menentukan apakah PKP harus menyetor PPN ke negara atau memiliki kelebihan pembayaran pajak.

7. Apakah PPN dapat dikembalikan (restitusi)?

Ya, PPN dapat dikembalikan (restitusi) dalam kondisi tertentu. Restitusi PPN dapat diajukan jika:

  • Jumlah PPN Masukan lebih besar dari PPN Keluaran dalam suatu masa pajak
  • PKP melakukan ekspor Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
  • PKP menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pemungut PPN
  • PKP memiliki lebih bayar karena perubahan tarif PPN

Proses pengajuan restitusi PPN melibatkan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dapat memakan waktu beberapa bulan. PKP perlu memastikan kelengkapan dokumen dan kebenaran perhitungan untuk memperlancar proses restitusi.

8. Apa konsekuensi jika tidak membayar atau melaporkan PPN?

Ketidakpatuhan dalam pembayaran atau pelaporan PPN dapat mengakibatkan sanksi, antara lain:

  • Denda administrasi sebesar 2% per bulan dari PPN yang kurang dibayar, maksimal 24 bulan
  • Denda Rp500.000 untuk keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN
  • Sanksi pidana bagi yang dengan sengaja tidak menyetorkan PPN yang telah dipungut, dengan ancaman pidana penjara dan denda

Selain sanksi tersebut, ketidakpatuhan juga dapat mengakibatkan pemeriksaan pajak yang lebih intensif dan berpotensi mengganggu operasional bisnis.

9. Bagaimana penerapan PPN untuk transaksi digital?

Sejak 1 Juli 2020, Indonesia telah menerapkan PPN untuk transaksi digital lintas batas. Beberapa poin penting terkait penerapan PPN digital:

  • PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak melalui perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) oleh penyedia luar negeri
  • Tarif PPN yang dikenakan adalah 10% (akan menyesuaikan dengan tarif PPN umum)
  • Penyedia jasa digital luar negeri yang memenuhi kriteria tertentu wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN
  • Konsumen di Indonesia yang menggunakan jasa digital dari luar negeri akan dikenakan PPN pada tagihan mereka

Penerapan PPN digital ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan beban pajak antara penyedia jasa digital dalam negeri dan luar negeri.

10. Apakah ada pengecualian atau pembebasan PPN?

Ya, terdapat beberapa jenis barang dan jasa yang dikecualikan atau dibebaskan dari PPN, antara lain:

  • Barang kebutuhan pokok seperti beras, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran
  • Jasa pelayanan kesehatan medis
  • Jasa pendidikan
  • Jasa keuangan
  • Jasa asuransi
  • Jasa keagamaan
  • Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri

Selain itu, ada juga fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan untuk kegiatan tertentu, seperti impor barang untuk proyek pemerintah atau ekspor barang kena pajak. Pengusaha perlu memahami dengan baik ketentuan pengecualian dan pembebasan PPN ini untuk menghindari kesalahan dalam penerapan PPN.


Source link