Meski total donasi rumah tangga Amerika meningkat menjadi USD 392,45 miliar pada tahun lalu, menurut laporan terbaru Lilly School of Philanthropy for Giving USA. Angka ini naik 52% sejak 2014.
Namun, meski donasi meningkat, semakin sedikit warga Amerika Serikat yang memberi karena donatur kaya semakin banyak yang melakukan kegiatan filantropi, menurut penelitian universitas tersebut.
Dekan Lilly School of Philanthropy, Amir Pasic mengatakan, kondisi ekonomi “berbentuk K” di mana orang kaya makin kaya, sementara kelas menengah dan bawah kian tertekan membuat kebiasaan memberi semakin timpang.
“Tekanan finansial menahan kemampuan donatur sehari-hari untuk memberi. Sementara itu, donatur kaya menyumbang lebih besar,” ujar dia.
Kenaikan harga, tarif, serta biaya hidup yang meningkat membuat masyarakat menengah dan bawah mengurangi pengeluaran, termasuk untuk amal. Di saat bersamaan, konsumsi kelas atas justru menunjukkan daya beli yang tetap kuat.
Akankah Insentif Baru Mampu Mengubah Perilaku?
Ekonom Daniel Hungerman menilai efektivitas insentif pajak baru tersebut masih meragukan. Menurut dia, upaya serupa pada 1980an gagal meningkatkan jumlah donasi. Begitu pula pengurangan sementara sebesar USD 300 pada 2020, yang hanya menaikkan sumbangan sebesar 5%.
Bahkan, penetapan potongan pajak standar yang lebih tinggi setelah reformasi pajak 2017 menyebabkan penurunan sumbangan amal hingga US$16 miliar per tahun secara permanen.
Namun, ada sedikit harapan. Peningkatan batas pengurangan SALT (State and Local Taxes) dapat mendorong lebih banyak wajib pajak di negara bagian berbiaya tinggi untuk merinci pajaknya, yang pada gilirannya meningkatkan insentif memberi.
Hungerman menekankan, yang terpenting adalah mengajak donatur menengah membiasakan diri berdonasi sejak dini. “Di suatu tempat, ada Bill Gates masa depan,” ujarnya.
Source link


