Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan pajak karbon merupakan kewenangan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, terkait penerapannya masih dilakukan diskusi dengan Kemenkeu.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menuturkan, penetapan terkait pajak karbon perlu disesuaikan dengan sistem perpajakan Indonesia. Ini mengingat penetapan pajak karbon bukan untuk menghasilkan pendapatan pajak melainkan menjadi insentif dan disinsentif bagi objek pajak untuk memperoleh unit pengurangan emisi karbon.
“Kalau itu memang harus sinkron ya untuk keseluruhan sistem perpajakan kita. Bu Menkeu (Menteri Keuangan Sri Mulyani) lebih paham untuk pelaksanaan implementasi masing-masing karena peran dari pajak karbon bukan untuk menghasilkan revenue, agak beda dengan pajak lain,” ujar dia saat ditemui di BEI, Selasa (26/9/2023).
Meski bursa karbon telah resmi meluncur, hingga saat ini Pemerintah belum menetapkan soal pajak karbon tersebut. Mahendra pun menegaskan, yang diperlukan saat ini kepastian dan rencana penerapan bursa karbon ke depannya.
Dalam kesempatan berbeda, OJK mengatakan, pendirian Bursa Karbon Indonesia merupakan momentum bersejarah Indonesia dalam mendukung upaya Pemerintah mengejar target untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai ratifikasi Paris Agreement.
“Bursa karbon Indonesia akan menjadi salah satu bursa karbon besar dan terpenting di dunia karena volume maupun keragaman unit karbon yang diperdagangkan dan kontribusinya kepada pengurangan emisi karbon nasional maupun dunia. Hari ini kita memulai sejarah dan awal era baru itu,” kata Mahendra.
Dia bilang, Indonesia memiliki target menurunkan emisi GRK, sebesar 31,89 persen (tanpa syarat dan tanpa bantuan internasional) atau sebesar 43,2 (dengan dukungan internasional) dari tingkat emisi normalnya (atau Business As Usual) pada 2030.
Source link