011907100_1671104508-cashless-society-2-a.jpg

Top 3: Pembayaran Pakai QRIS Tak Kena PPN

Liputan6.com, Jakarta Sistem pembayaran menggunakan QRIS tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Sebelumnya Beredar isu di masyarakat bahwa transaksi uang elektronik menjadi objek pajak yang dikenakan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun memberikan klarifikasi. 

DJP bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984. Artinya hal ini bukan objek pajak baru.

UU PPN telah diperbarui dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk objek yang dibebaskan dari PPN. Artinya, ketika PPN naik menjadi 12 persen nanti, tarif tersebut juga berlaku untuk transaksi uang elektronik.

Artikel Pembayaran Pakai QRIS Tak Kena PPN menyita perhatian pembaca di Kanal Bisnis Liputan6.com pada akhir pekan ini. Ingin tahu artikel terpopuler lainnya di Kanal Bisnis Liputan6.com? Berikut tiga artikel terpopuler di Kanal Bisnis Liputan6.com yang dirangkum pada Senin (23/12/2024):

1. Catat, Pembayaran Pakai QRIS Tak Kena PPN

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan sistem pembayaran menggunakan QRIS tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

“Payment sistem hari ini ramai, QRIS itu tidak dikenakan PPN sama seperti debit card dan transaksi lain,” kata Airlangga dalam pembukaan acara Launching of EPIC SALE di Alfamart Drive Thru Alam Sutera, Minggu (22/12/2024).

Airlangga menambahkan pihaknya selalu memantau perkembangan apa yang sedang ramai di masyarakat. Ia menambahkan, PPN hanya dikenakan pada barangnya bukan pada sistem transaksinya. 

Baca artikel selengkapnya di sini


Source link

058328900_1699254250-PHOTO-2023-11-05-14-59-40.jpg

Soal Pembayaran QRIS Kena PPN 12 Persen, Ini Penjelasan DJP 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan sistem pembayaran menggunakan QRIS tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

“Payment sistem hari ini ramai, QRIS itu tidak dikenakan PPN sama seperti debit card dan transaksi lain,” kata Airlangga dalam pembukaan acara Launching of EPIC SALE di Alfamart Drive Thru Alam Sutera, Minggu (22/12/2024).

Airlangga menambahkan pihaknya selalu memantau perkembangan apa yang sedang ramai di masyarakat. Ia menambahkan, PPN hanya dikenakan pada barangnya bukan pada sistem transaksinya. 

Menko Perekonomian itu juga menekankan bahan pokok penting dan turunanya tidak akan dikenakan PPN. Selain itu untuk sektor transportasi, pendidikan, dan kesehatan juga tidak dikenakan PPN kecuali hal yang khusus. 

“Berita akhir-akhir ini banyak yang salah. Pertama urusan bahan pokok penting tidak kena PPN termasuk turunannya turunan tepung, terigu turunan minyak kita, turunan gula. Bayar tol juga tak kena PPN,” jelas Airlangga. 

 


Source link

085537800_1693663326-GUS_YAHYA-NU_ONLINE.JPG

Soal PPN 12 Persen, Gus Yahya: Pandangan Pemerintah Perlu Didengar Utuh

Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam penjelasannya mengatakan, kenaikan PPN 12 persen itu diperlukan sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara guna mendukung stabilitas ekonomi nasional.

“Kenaikan itu sesuai dengan amanat Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Langkah ini bertujuan menjaga keseimbangan fiskal di tengah tantangan ekonomi global,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers bertajuk “Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan” di Jakarta, Senin (16/12/2024).

Menurut Sri, kebijakan kenaikan PPN bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.

Mengutip situs kemenkeu.go.id, barang dan jasa kategori mewah atau premium itu seperti kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal. Kata Menteri Sri, setiap melakukan pemungutan pajak, pemerintah selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong.

“Disebut berkeadilan karena kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” klaim Sri.

Baca juga Imbas PPN 12%, Sejumlah Hotel Bakal Gulung Tikar

 


Source link

073141000_1730124467-IMG-20241028-WA0014.jpg

Daftar Biaya Transaksi Elektronik yang Kena Pajak

Sebagai contoh, ketika pengguna melakukan top-up saldo uang elektronik dan dikenakan biaya administrasi, biaya administrasi tersebut yang dikenakan PPN.

Jika biaya administrasi top-up adalah Rp1.000 dan tarif PPN yang berlaku saat ini sebesar 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp110, sehingga total biaya menjadi Rp1.110.

Bila PPN naik menjadi 12 persen nantinya, PPN yang perlu dibayar sebesar Rp120, sehingga total biaya menjadi Rp1.120.

Sedangkan ketika pengguna hanya mentransfer uang atau menggunakan saldo tanpa biaya tambahan, tidak ada PPN yang dikenakan.

Bebas PPN

Untuk diketahui, UU HPP mengatur pembebasan PPN terhadap sejumlah jasa keuangan.

Jasa ini meliputi penghimpunan dana seperti giro, tabungan, deposito, dan sertifikat deposito, yang dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan.

Selain itu, kegiatan penyaluran dan peminjaman dana, baik melalui transfer elektronik, cek, maupun wesel.

Pembiayaan seperti leasing dengan hak opsi, anjak piutang, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen juga tidak dikenakan PPN, termasuk yang berprinsip syariah.

Layanan gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia, serta jasa penjaminan untuk melindungi kewajiban finansial, juga dikecualikan dari pajak.

 

 


Source link

076221200_1630485297-alan-caishan-cU53ZFBr3lk-unsplash.jpg

Kaleidoskop 2024: Heboh Pajak Hiburan Naik 75%, Nyanyian Inul hingga Gugatan ke MK

Liputan6.com, Jakarta – Mengawali tahun 2024, industri hiburan nasional langsung dihebohkan dengan aturan kenaikan pahak hiburan hingga 75%. Para artis yang memiliki usaha hiburan pun langsung teriak. Tak cuma itu, para pengusaha juga menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Heboh mengenai pajak hiburan di awal tahun ini dimulai saat Hotman Paris Hutapea, pemilik usaha beach club di daerah Canggu, Bali, berteriak lewat media sosialnya. Ia gusar karena usahanya termasuk dalam objek pajak hiburan minimal 40 persen berdasarkan aturan baru dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 58 Ayat (2) terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan pating rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Apa ini benar! ? Pajak 40 persen? Mulai berlaku januari 2024?? Super tinggi? Ini mau matikan usaha?? Ayok pelaku usaha teriaaakkk(Kelangsungan industri pariwisata di Indonesia terancam),” tulisnya ulang dalam unggahan di Instagram @hotmanparisofficial pada 6 Januari 2024.

Protes dari Hotman Paris tersebut langsung disambut oleh penyanyi Inul Daratista di media sosial.

Baca ini kok aku jadi heran yo, gak mematikan gimana 40-75%? Itungane piye (hitungannya gimana)? Dibebankan ke costumer?” keluh Inul Daratista pada Kamis, 11 Januari 2024.

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar, menilai naiknya pajak hiburan sebesar 40 persen dan maksimal 75 persen dari sebelumnya hanya 15 persen, tentunya pelaku usaha dan konsumen akan terimbas dampaknya.

Jika dibandingkan dengan negara lain, tarif khusus untuk sektor diskotik, bar, kelab malam, Spa dan sejenisnya di Indonesia (dalam UU HKPD) memang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.

Di Thailand, diskotik dan sejenisnya dikenakan dalam bentuk cukai dan tarifnya 5 persen. Sedangkan di Malaysia masuk ke dalam service tax dengan tarif 6 persen.

Sedangkan di Filipina, dia dikenakan dalam bentuk tarif PPN yang lebih tinggi. Filipina menggunakan sistem tarif PPN multi tarif. Tarif standar PPN di Filiipina 12 persen sedangkan untuk diskotek dan sejenisnya 18 persen.

“Di Indonesia, diskotik, kelab malam, dan sejenisnya dikenakan dalam bentuk pajak daerah dengan tarif minimum sebesar 40 persenApakah berdampak bagi pariwisata? tidak pukul rata bagi setiap daerah,” kata Fajry kepada Liputan6.com pada Januari 2024.


Source link

083044700_1711454983-IMG-20240326-WA0027.jpg

Imbas PPN 12%, Sejumlah Hotel Bakal Gulung Tikar

Liputan6.com, Jakarta – Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menyebut harga hotel akan meningkat imbas kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Bahkan, beberapa kategori hotel atau restoran diprediksi bisa bangkrut.

Dia menerangkan, beban PPN 12 persen itu secara langsung akan menjadi tanggungan konsumen. Pasalnya, setiap pasokan yang digunakan oleh hotel dan restoran turut terkena PPN. Alhasil, angka kenaikannya bisa lebih tinggi.

“Soal hotel itu kan suplainya macam-macam ya, yang suplai ke hotel dan restoran itu, dan itu pasti kena PPN semua,” kata Sutrisno, ditemui di Kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Dia mengatakan, kenaikan harga itu turut berpengaruh pada tingkat okupansi hotel. Dengan harga yang tinggi, maka permintaan dari masyarakat akan turun.

Belum lagi, hotel dihadapkan dengan pemangkasan anggaran perjalanan dinas 50 persen. Artinya, kegiatan dinas instansi di hotel akan berkurang.

“Jadi implikasinya apa? Kalau kemudian PPN naik itu kan pasti dibebankan kepada harga. Kalau harga naik, permintaan akan turun. Sementara dari sisi permintaan sekarang ini, adanya pembatasan 50% perjalanan dinas itu dihilangkan, itu saja sudah sangat memukul, ditambah lagi dengan harga naik,” terangnya.

Dengan kenaikan harga tadi, biaya yang ditanggung konsumen juga meningkat. Dari sisi pengusaha, hal tersebut akan membebani operasional.

“Semakin tidak ada orang yang kemudian menginap atau mengunjungi objek pariwisata. Itu implikasi dari PPN itu, belum lagi nanti kerumitan dari sisi administrasinya,” ucapnya.

 


Source link

080833100_1422933463-Ilustrasi-Pajak-150203-andri.jpg

Daftar Lengkap Barang dan Jasa Bebas PPN 12% Tahun 2025, Dari Bahan Pokok Hingga Layanan Pendidikan

Penerapan PPN 12% yang mulai berlaku Januari 2025 akan fokus pada barang dan jasa yang dikategorikan sebagai produk premium atau mewah. Kebijakan ini sejalan dengan prinsip keadilan pajak, di mana kontribusi lebih besar diharapkan dari konsumsi barang dan jasa non-esensial yang umumnya digunakan oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.

1. Produk Pangan Premium

Kategori ini mencakup beras premium, organik, dan beras khusus impor yang harganya jauh di atas beras konsumsi biasa. Termasuk di dalamnya daging wagyu, daging kobe, dan potongan daging premium yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram. Seafood premium seperti salmon, king crab, dan tuna otoro juga masuk dalam kategori ini. Pengenaan PPN 12% pada produk-produk ini didasarkan pada karakteristiknya sebagai barang mewah yang konsumsinya bersifat eksklusif.

2. Barang Elektronik dan Gadget

Perangkat elektronik seperti smartphone premium, laptop high-end, dan peralatan rumah tangga mewah akan dikenakan PPN 12%. Kategori ini juga mencakup produk smart home, perangkat gaming, dan aksesori elektronik premium. Pengecualian diberikan untuk perangkat elektronik yang digunakan dalam proses pendidikan atau keperluan produktif UMKM yang telah terdaftar.

3. Kendaraan Bermotor

Mobil dan motor non-listrik dengan kapasitas mesin besar atau kendaraan mewah akan dikenakan PPN 12%. Namun, kendaraan listrik dan hybrid mendapatkan insentif khusus sebagai bagian dari program pengembangan transportasi ramah lingkungan. Besaran PPN untuk kendaraan bermotor ini juga akan dipengaruhi oleh kebijakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

4. Produk Fashion dan Aksesoris Premium

Pakaian, tas, sepatu, dan aksesoris dari brand mewah akan dikenakan PPN 12%. Termasuk di dalamnya produk fashion dengan harga di atas rata-rata pasar dan barang-barang branded yang dipasarkan secara eksklusif. Kebijakan ini tidak berlaku untuk produk fashion basic atau pakaian seragam sekolah.

5. Properti dan Real Estate Premium

Hunian mewah, apartemen premium, dan properti komersial high-end akan dikenakan PPN penuh 12%. Pengecualian berlaku untuk rumah sederhana dan properti yang masuk dalam program perumahan rakyat. Fasilitas PPN DTP juga tersedia untuk pembelian rumah dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam kebijakan stimulus properti.

6. Layanan Premium

Jasa premium seperti sekolah internasional, rumah sakit kelas VIP, restoran fine dining, dan hotel berbintang lima akan dikenakan PPN 12%. Termasuk di dalamnya layanan konsultasi eksklusif, jasa perawatan premium, dan layanan concierge. Pembebasan tetap berlaku untuk layanan dasar dalam sektor-sektor tersebut yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.

7. Layanan Digital dan Entertainment

Layanan streaming premium, platform digital berbayar, dan konten entertainment digital akan dikenakan PPN 12%. Ini mencakup langganan Netflix, Spotify Premium, dan berbagai platform hiburan digital lainnya. Pertimbangan pengenaan PPN pada kategori ini didasarkan pada sifatnya sebagai layanan non-esensial.

8. Kosmetik dan Produk Perawatan Premium

Produk kosmetik, parfum, dan perawatan tubuh premium akan dikenakan PPN penuh. Kategori ini mencakup brand-brand high-end dan produk perawatan eksklusif yang dipasarkan untuk segmen menengah ke atas. Pengecualian berlaku untuk produk kesehatan dan kebersihan dasar yang masuk dalam kategori kebutuhan pokok.

Penerapan PPN 12% pada barang dan jasa premium ini merupakan implementasi dari prinsip pajak progresif, di mana beban pajak lebih besar dikenakan pada konsumsi yang bersifat mewah atau non-esensial. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa memberatkan konsumsi barang dan jasa dasar masyarakat luas. Penting bagi konsumen untuk memahami kategorisasi ini agar dapat merencanakan pengeluaran dengan lebih baik dan memanfaatkan berbagai fasilitas perpajakan yang tersedia sesuai dengan kebutuhan mereka.


Source link

061654100_1734586815-Ge_vZFKbwAQ4ruR.jpg

Viral Tolak PPN 12%, Ajakan Demo di Istana hingga Peringatan Darurat Kembali Muncul

Liputan6.com, Jakarta – Penolakan masyarakat terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di 1 Januari 2025 dari yang saat ini sebesar 11% terus bergulir.

Di media sosial, penolakan kenaikan PPN tersebut kembali viral. Ada dua tagar yang didengungkan dalam penolakan ini yaitu #tolakPPN12Persen dan #PAJAKMENCEKIK.

Berbagai gerakan pun dilakukan mulai dari ajakan demo di depan istana Negara hari ini hingga berserikat.

Akun X @B********a mengajak masyarakat untuk ikut bersama mengawal penyerahan petisi bareng warga “#TolakPPN12Persen! ” pada hari ini.

Penyerahan tersebut dilakukan pada Kamis 19 Desember 2024 pukul 13.30 WIB.

Akun @P****a juga mengungkapkan keluhannya terkait PPN12% ini dengan mengkaitkan dengan upah minimum.

UMR PALING RENDAH TAPI PAJAK DI NAIKKIN?! KITA NUNTUT SEGALA FASILITAS DI INDONESIA DIPERBAIKIN ELU PADA MALAH NYROCOS KALO KITA NGELUHYA GIMANA NGGA NGELUH YAK😭 MIKIR DOOONG BAPAK IBUK PEMERINTAH PEJABAT DLL🤏😭.”

Bahkan sejak November 2024 kemarin sudah ada petisi di change.org yang mengajak masyarakat untuk menandatangani permintaan agar pemerintah segera membatalkan kenaikan PPN. Sejauh ini sudah ada 108.107 orang menandatanganinya.

Berikut ini lengkap petisi tersebut:

#PajakMencekik #TolakKenaikanPPN

Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (PPN), mulai 1 Januari 2025 Pemerintah akan menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Sebelumnya, atau kira-kira dua tahun lalu Pemerintah sudah pernah menaikan PPN. Dari yang tadinya 10% naik ke angka 11%.

Rencana menaikan kembali PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik. Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik.

Di soal pengangguran terbuka misalnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, angkanya masih sekitar 4,91 juta orang. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94% bekerja di sektor informal. Jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.

Urusan pendapatan atau upah kita juga masih terdapat masalah. Masih dari data BPS per Bulan Agustus, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Trennya sempat naik di tahun 2022, namun kembali menurun di tahun 2023. Tahun ini selisihnya hanya 154 ribu rupiah.

Masalahnya UMP sebagi acuan pendapatan yang layak pun patut diragukan. Contohnya di Jakarta. Untuk hidup di kota metropolitan tersebut, catatan BPS tahun 2022 menunjukan dibutuhkan uang sekitar 14 juta rupiah setiap bulannya. Sedangkan UMP Jakarta di tahun 2024 saja hanya 5,06 juta rupiah. Apalagi dari fakta yang ada masih banyak pekerja yang diberi upah lebih kecil dari UMP.

Naiknya PPN yang juga akan membuat harga barang ikut naik sangat mempengaruhi daya beli. Kita tentu sudah pasti ingat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas.

Atas dasar itu, rasa-rasanya Pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP. Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana.


Source link

034985800_1472181437-ai.jpg

Beras Premium Tak Kena PPN 12 Persen, Begini Penjelasan Menko Zulhas

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menggelar Konferensi Pers terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai 1 Januari 2025. Pengenaan pajak ini merupakan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Menko Airlangga menjelaskan, sejalan dengan azas keadilan dan gotong royong, atas Barang dan Jasa Mewah yang dikonsumsi masyarakat mampu yang sebelumnya tidak dikenakan PPN kini dikenakan PPN 12%.

“Bahan makanan premium antara lain beras, buah-buahan, ikan dan daging premium, pelayanan kesehatan medis premium, jasa pendidikan premium, dan listrik pelanggan rumah tangga sebesar 3500 VA-6600 VA, akan dikenakan PPN 12%,” jelas dia.

Airlangga melanjutkan, kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu aspek esensial yang terus ditingkatkan Pemerintah melalui penerapan berbagai skema kebijakan dan program strategis.

Bauran kebijakan tersebut dirancang dan diimplementasikan Pemerintah dengan turut mempertimbangkan prinsip keadilan dan gotong royong, serta diiringi dengan langkah-langkah mitigasi yang di antaranya dalam bentuk pemberian insentif di bidang ekonomi.

“Untuk itu, agar kesejahteraan masyarakat tetap terjaga, Pemerintah telah menyiapkan insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi yang akan diberikan kepada berbagai kelas masyarakat,” ungkap Airlangga.

Dengan proyeksi insentif PPN dibebaskan yang diberikan pada 2025 sebesar Rp 265,6 triliun, Pemerintah tetap memberikan fasilitas bebas PPN atau PPN tarif 0% berkenaan dengan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat umum dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Barang dan jasa tersebut termasuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum.


Source link

027347500_1734426576-Banner_Infografis_Barang_Mewah_dan_Jasa_Premium_Kena_PPN_12_Persen_Mulai_1_Januari_2025.jpg

PPN Indonesia Tertinggi di ASEAN, tapi Masih Rendah dari Anggota OECD

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, efektif mulai 1 Januari 2025. Langkah ini diambil untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung berbagai program pembangunan yang sedang berjalan.

Dikutip dari ANTARA, Rabu (18/12/2024), dengan kebijakan ini, Indonesia akan menyamai Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara (ASEAN).

Sementara negara-negara lain di kawasan ini menerapkan tarif yang lebih rendah, Indonesia dan Filipina akan berbagi posisi puncak dalam hal tarif PPN.

Perbandingan Tariif PPN

Meskipun tarif PPN Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa secara global, tarif tersebut masih tergolong moderat.

Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Brasil, Afrika Selatan, dan India memiliki tarif PPN masing-masing sebesar 17 persen, 15 persen, dan 18 persen.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa dibandingkan dengan beberapa negara di dunia, tarif PPN Indonesia tidak termasuk yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tarif tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN, Indonesia masih memiliki tarif yang relatif rendah dalam konteks global.

Di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah kontributor utama bagi pendapatan negara.

PPN dikenakan pada transaksi barang dan jasa, sementara PPnBM diterapkan pada barang mewah seperti kendaraan, perhiasan, dan properti. Kedua pajak ini berperan penting dalam mengatur konsumsi dan mendukung pemerataan ekonomi, serta mencerminkan kebijakan fiskal yang progresif.

Data Tarif PPN Negara ASEAN

Berikut adalah daftar tarif PPN di negara-negara ASEAN:

  1. Filipina: 12 persen
  2. Indonesia: 11 persen, akan naik menjadi 12 persen pada 2025
  3. Kamboja: 10 persen
  4. Laos: 10 persen
  5. Malaysia: 10 persen untuk pajak penjualan, 8 persen untuk pajak layanan
  6. Vietnam: 10 persen, turun menjadi 8 persen hingga Juni 2025
  7. Singapura: 9 persen
  8. Thailand: 7 persen
  9. Myanmar: 5 persen
  10. Brunei: 0 persen
  11. Timor Leste: 0 persen untuk PPN dalam negeri, 2,5 persen untuk PPN barang/jasa impor

Dengan demikian, pada 2025, tarif PPN di Indonesia akan mencapai 12 persen, menjadikannya yang tertinggi di ASEAN bersama Filipina.

Meskipun demikian, tarif PPN 12 persen Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara-negara anggota OECD. Oleh karena itu, penting untuk membandingkan posisi Indonesia dalam konteks ekonomi regional dan global.

 


Source link