018031300_1672304433-Penerimaan_Pajak_2022_Capai_Target-Angga-7.JPG

PPN 12% Diprediksi Tambah Penerimaan Negara Rp 75 Triliun

Awalil menjelaskan bahwa untuk mencapai target penerimaan pajak dalam APBN 2025, pemerintah harus meningkatkan penerimaan perpajakan sebesar 11,48 persen pada tahun depan. Hal ini dinilai sulit dicapai tanpa kebijakan kenaikan pajak yang signifikan.

“Kebutuhan dana tahun 2025 akan jauh lebih sulit dari perkiraan pemerintah sebelumnya, yang sebenarnya sudah pesimis dibanding target awal APBN 2024 yang sangat optimis,” kata Awalil.

Ia juga menyoroti bahwa pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto memiliki rencana belanja yang jauh lebih besar melalui program-program baru, sehingga tekanan untuk meningkatkan pendapatan negara menjadi lebih tinggi.

Kritik terhadap Kenaikan PPN dan Kebijakan Pajak

Menurut Awalil, kebijakan menaikkan PPN dan pemberlakuan kembali tax amnesty yang baru dilakukan dua tahun lalu mencerminkan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan di tengah situasi yang mendesak.

“Keadaan ini menunjukkan pemerintah terdesak untuk menaikkan pendapatan, dan kenaikan PPN menjadi salah satu solusi utama meskipun dampaknya pada ekonomi dapat menjadi kontraproduktif,” jelasnya.


Source link

042281100_1581165315-book-3312854_960_720.jpg

Semua Buku Bebas PPN, Kecuali yang Mengandung Pornografi

Liputan6.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan bahwa semua buku, baik cetak maupun digital, dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, pengecualian berlaku untuk buku yang melanggar hukum, seperti yang mengandung unsur diskriminasi, pornografi, atau bertentangan dengan Pancasila.

“Sesuai dengan PMK Nomor 5/PMK.010/2020, semua buku pelajaran umum, termasuk cetak dan digital, bebas dari PPN,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti, dikutip Rabu (27/11/2024).

Dwi menambahkan, jika sebuah buku dianggap melanggar hukum, hal itu harus dibuktikan melalui keputusan pengadilan.

“Tanpa putusan pengadilan, semua buku tetap bebas PPN,” tegasnya.

Buku yang Bebas PPN

Dalam Pasal 1 PMK 5/2020, buku didefinisikan sebagai karya tulis atau gambar yang diterbitkan dalam bentuk cetakan berjilid atau publikasi elektronik yang tidak berkala.

Pasal 2 aturan tersebut menjelaskan bahwa jenis buku yang bebas PPN mencakup:

  1. Buku pelajaran umum,
  2. Kitab suci, dan
  3. Buku pelajaran agama.

Buku pelajaran umum didefinisikan sebagai buku yang digunakan dalam pendidikan formal, seperti pendidikan umum, kejuruan, dan agama, sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017.

Buku lain yang mengandung unsur pendidikan juga termasuk dalam kategori ini, selama tidak melanggar nilai-nilai Pancasila atau memuat unsur negatif seperti diskriminasi, pornografi, kekerasan, dan ujaran kebencian.

Aturan Sebelumnya

Sebelumnya, PMK 122/2013 mengecualikan sejumlah jenis buku dari pembebasan PPN, seperti buku hiburan, komik, dan roman populer. Namun, aturan ini tidak berlaku lagi setelah PMK 5/2020 diterbitkan.

Dengan regulasi baru ini, pemerintah menegaskan komitmennya untuk mendukung dunia pendidikan dengan membebaskan PPN pada semua buku, kecuali yang terbukti melanggar hukum melalui proses pengadilan.


Source link

002118800_1669641794-Ilustrasi_UMP.jpg

Hadapi Kenaikan UMP Plus PPN 12%, Pengusaha Rayu Sri Mulyani

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menyoroti kenaikan pajak pertambahan nilai, alias PPN menjadi 12 persen dan upah minimum provinsi (UMP) pada 2025. Kebijakan itu dinilai bakal memberikan beban kepada pengusaha, jika dilakukan secara berbarengan di tengah situasi sulit saat ini.

Pertama, ia meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menunda pengenaan PPN 12 persen. Pasalnya, Arsjad menilai kondisi perekonomian saat ini berbeda dengan yang terjadi ketika kenaikan itu dirumuskan, khususnya pada situasi di luar Indonesia.

“Memang, ibu Sri Mulyani sudah memutuskan bahwa PPN jadi 12 persen. Namun kami menyarankan, dengan situasi dan kondisi yang ada, mungkin sebaiknya ini ditunda dulu,” ujar Arsjad di Jakarta, Selasa (26/11/2024).

“Karena tadi, bahwa keadaan, situasi dan kondisinya waktu diputuskan 12 persen pada saat itu keadaannya berbeda dengan hari ini. Makanya kami mengatakan bahwa di-timing-in saja. Timing-nya mungkin harus dilihat kembali, dipikirkan kembali, karena keadaan situasi dan kondisinya tidak seperti yang kita harapkan secara eksternal,” ungkapnya.

Jika tarif PPN 12 persen dikenakan berbarengan dengan kenaikan UMP 2025, ia menyebut akan ada banyak pelaku usaha yang kesulitan. Sebab, banyak pengusaha yang kondisi finansialnya kini tidak baik-baik saja.

“Pasti berat. Maksudnya gini, harus dilihat setiap sektor, enggak bisa digeneralisasi semua pengusaha. Ada juga perusahaan yang sehat, ada juga yang tidak. Jadi ini yang memang berbeda-beda,” kata Arsjad.

Terkhusus kenaikan UMP, ia berharap itu bisa dirundingkan secara bipartit antara pekerja dan pengusaha di masing-masing sektor. Untuk mencari titik tengah yang tidak memberatkan kedua belah pihak.

“Ini kan mencari equilibrium lagi. Nah ini yang harus kita cari. Makanya saya selalu mengatakan, kita tidak terpisahkan antara pekerja dan pengusaha. Makanya harus selalu duduk, bicara dan saling terbuka. Mulailah kepercayaan, kalau enggak susah,” tuturnya.


Source link

018031300_1672304433-Penerimaan_Pajak_2022_Capai_Target-Angga-7.JPG

PPN Bakal Naik jadi 12%, Pengusaha Cemaskan Hal Ini

Liputan6.com, Jakarta Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendapat respons dari berbagai pihak.

Kendati kebijakan ini disebut pemerintah sudah menjadi amanat undang-undang dan wajib dijalankan. Kenaikan PPN ini berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Salah satu respons penolakan itu datang dari Gabungan Pengusaha Angkutan Penyeberangan.

Ketua Bidang Usaha dan Pentarifan DPP Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap), Rachmatika Ardiyanto menilai, wacana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 justru semakin menambah berat beban usaha angkutan penyeberangan.

Ia menegaskan, bahwa dengan kondisi saat ini saja, tarif yang diterapkan masih kurang 31,8 persen dibandingkan dengan perhitungan biaya pokok yang sudah dihitung bersama antara Kementerian Perhubungan RI, PT ASDP, Gapasdap, Asuransi baik Jasa Raharja maupun Jasa Raharja Putera dan juga perwakilan konsumen, serta perhitungan tersebut telah diketahui oleh Kemenko Marvest pada 2019.

“Dalam kurun waktu tersebut hingga saat ini telah terjadi banyak kenaikan biaya. Apalagi jika harus menghadapi kenaikan PPN 12 persen tahun depan,” kata Rachmat dikutip Selasa (26/11/2024).

Kenaikan tersebut disinyalir akan menimbulkan multiplayer efek kenaikan biaya-biaya lainnya.

Seperti kenaikan gaji karyawan karena meningkatnya biaya hidup, kenaikan biaya pengedokan, biaya spare part dan lainnya yang semua itu dalam pembeliannya dikenakan PPN.

“Saat ini saja untuk tarif yang berlaku masih belum sesuai dengan perhitungan tarif,” tandasnya.

 


Source link

056635900_1599904602-20200912-Jelang-psbb-pengusaha-ritel-minta-mall-dan-retail-beroprasi-normal-ANGGA-1.jpg

PPN 12% Bikin Daya Beli Masyarakat Makin Anjlok, Benarkah?

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman, meminta pemerintah mengkaji ulang rencana implementasi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12% mulai 1 Januari 2025.

Menurut dia, kenaikan PPN 2025 akan berdampak besar pada rantai pasok, kenaikan bahan baku dan biaya produksi. Ujungnya akan terjadi kenaikan harga jasa/produk, yang melemahkan daya beli masyarakat, sehingga utilitas penjualan tidak optimal.

“Terlebih pada produk pangan yang sangat sensitif terhadap harga, masyarakat akan mengerem konsumsinya. Hal ini akan memperlambat laju konsumsi rumah tangga,” ujar Adhi, Senin (25/11/2024).

Peran Konsumsi Rumah Tangga

Sebagai catatan, konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi berkontribusi sebesar 53,08 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, menunjukkan tren pelemahan.

Pada kuartal III 2024, konsumsi hanya mampu tumbuh 4,91 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal II 2024 sebesar 4,93 persen.

“Industri makanan minuman merupakan motor penggerak transaksi di berbagai pelaku ritel, baik di pasar tradisional maupun modern,” imbuh Adhi.

Adhi menilai, peningkatan omset dan peredaran uang melalui transaksi perdagangan dari berbagai kanal dapat membantu meningkatkan aktivitas ekonomi dan pendapatan negara. Strategi ini sangat penting untuk menciptakan stabilitas ekonomi, sekaligus memperkuat kontribusi sektor perdagangan terhadap penerimaan negara.

“Kenaikan PPN akan berpotensi menekan pertumbuhan industri makanan minuman, sehingga dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional. Apalagi pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi untuk menuju 8 persen, perlu didukung semua sektor,” sebutnya.

Oleh karenanya, Gapmmi berharap pemerintah akan memilih langkah lain untuk meningkatkan penerimaan negara. Misal, dengan menerapkan ektensifikasi PPN yang masih berpotensi besar, dibandingkan menaikkan tarif.

“Apalagi sangat dimungkinkan dalam UU 7/2021 pasal 7 ayat 3, menyatakan tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen,” tutur dia.


Source link

062073000_1604404965-20201103-pembebasan-tarif-bea-masuk-permudah-umkm-ekspor-produk-ke-AS-ANGGA-1.jpg

Penting Nih! Tarif Pajak 0,5% untuk UMKM Harus Diperpanjang

Liputan6.com, Jakarta Stimulus fiskal untuk pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kembali menjadi sorotan. Para pengamat menilai, kebijakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen yang akan berakhir pada 2024 perlu diperpanjang, bahkan diturunkan.

Langkah ini dinilai penting untuk menjaga keberlanjutan bisnis UMKM yang menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa UMKM membutuhkan stimulus yang lebih besar untuk menghadapi tantangan ke depan, termasuk kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025. Ia mengusulkan agar tarif PPh bagi UMKM diturunkan menjadi 0,1 hingga 0,2 persen sebagai bentuk dukungan konkret.

“Tarif 0,5 persen harus dipertahankan, bahkan diturunkan. Ini tidak hanya meringankan beban UMKM, tetapi juga mendorong kepatuhan pajak. Jika tarifnya terlalu tinggi, pelaku UMKM cenderung sulit patuh, dan ini akan mengurangi potensi penerimaan pajak negara,” kata Bhima kepada wartawan, Senin (25/11/2024).

Menurut Bhima, penurunan tarif PPh dapat menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan daya saing UMKM, yang saat ini menyerap 97 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Kebijakan ini juga dianggap mampu mendorong penyerapan tenaga kerja lebih besar di tengah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri padat karya.

Hingga Ekonomi Pulih

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menambahkan bahwa pemerintah perlu menunda kenaikan PPN hingga ekonomi benar-benar pulih.

Menurutnya, insentif pajak yang optimal akan membantu UMKM mengurangi beban operasional dan memperkuat daya saing di pasar domestik maupun internasional.

“Dukungan fiskal seperti tarif PPh yang rendah adalah kunci. Jika insentif ini dicabut, UMKM akan kesulitan bersaing dan terancam gulung tikar,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyatakan, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk memperpanjang kebijakan tarif PPh Final 0,5 persen sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018. Langkah ini diharapkan mampu menjaga stabilitas UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar, yang menjadi segmen terbesar dalam ekosistem UMKM.

 


Source link

010216300_1704839246-WhatsApp_Image_2024-01-10_at_04.54.19.jpeg

Bea Cukai Imbau Masyarakat Waspada Penipuan Online

Liputan6.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Bea Cukai (Ditjen Bea Cukai) mengimbau masyarakat waspada terhadap penipuan yang berpura-pura menjadi petugas Bea Cukai. Hal seiring nama instansi bea cukai yang dicatut dalam modus penipuan.

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Budi Prasetiyo menuturkan, masyarakat perlu waspada, karena penipu sering kali berpura-pura menjadi petugas Bea Cukai dan mengklaim barang yang dibeli secara online terhambat. Hal ini karena masalah dokumen atau bahkan dikenakan denda dan sanksi pidana karena dianggap ilegal.

Berdasarkan, data contact center Bravo Bea Cukai 1500225, diketahui Oktober 2024, terdapat 539 pengaduan penipuan mengatasnamakan Bea Cukai yang diterima. Angka tersebut meningkat 3,45% apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya dengan 521 pengaduan.

“Modus yang paling sering digunakan oleh pelaku penipuan mengatasnamakan Bea Cukai, yaitu modus online shop dengan jumlah 302 kasus penipuan yang mengalami penurunan 2,89% apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya dengan 311 kasus penipuan,” ujar Budi seperti dikutip dari keterangan tertulis, ditulis Sabtu (23/11/2024).

Budi menuturkan, yang menjadi ciri utama modus penipuan mengatasnamakan Bea Cukai adalah pelaku menghubungi menggunakan nomor pribadi, mengaku sebagai pejabat Bea Cukai, mengancam untuk memproses ke jalur hukum, dan meminta transfer sejumlah uang ke nomor rekening pribadi.

“Agar terhindar dari penipuan mengatasnamakan Bea Cukai, masyarakat perlu mengetahui bahwa petugas Bea Cukai tidak menghubungi penerima barang dengan nomor pribadi. Pembayaran bea masuk dan pajak impor juga tidak dilakukan melalui rekening pribadi, melainkan langsung ke rekening penerimaan negara dan menggunakan kode billing,” ujar dia.

Ia menambahkan,selanjutnya lakukan pengecekan barang kiriman secara mandiri melalui laman www.beacukai.go.id/barangkiriman untuk penipuan yang menggunakan modus barang kiriman. “Karena semua barang kiriman dari luar negeri yang diberitahukan secara legal ke Bea Cukai akan dapat ditemukan/dilacak pada laman tersebut,” ujar dia.

Selain itu Budi menuturkan, jika ada oknum yang mengaku petugas Bea Cukai, masyarakat dapat mendatangi langsung  kantor Bea Cukai terdekat atau dapat menghubungi media sosial resmi Bea Cukai.

 


Source link

044002400_1614227023-tax-planning-concept-with-wooden-cubes-calculator-blue-table-flat-lay_176474-9519.jpg

Top 3: Tarif PPN 12% Bakal Bikin Pemerintah Bebas Belanja

Liputan6.com, Jakarta Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan mulai diterapkan per 1 Januari 2025. Esensi dasar dari kebijakan PPN 12 persen ini dinilai adalah, negara butuh dana dari pajak untuk dana pembangunan.

Pemerintah sudah pasti pro dengan lonjakan tarif pajak, lantaran sudah diamanatkan oleh DPR selalu wakil rakyat melalui Pasal 7 ayat (1) UU PPN.

Artikel Tarif PPN 12% Bakal Bikin Pemerintah Bebas Belanja untuk Pembangunan menyita perhatian pembaca di Kanal Bisnis Liputan6.com pada Jumat, 22 November 2024. Ingin tahu artikel terpopuler lainnya di Kanal Bisnis Liputan6.com?

Berikut tiga artikel terpopuler di Kanal Bisnis Liputan6.com, yang dirangkum pada Sabtu (23/11/2024):

1. Tarif PPN 12% Bakal Bikin Pemerintah Bebas Belanja untuk Pembangunan

Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan mulai diterapkan per 1 Januari 2025. Kebijakan PPN 12% ini diyakini bakal membuat pemerintah lebih leluasa dalam membelanjakan anggaran untuk pembangunan negara.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, mengatakan bahwa esensi dasar dari kebijakan PPN 12 persen ini adalah, negara butuh dana dari pajak untuk dana pembangunan.

“Kebutuhan tersebut terus bertambah. Caranya adalah dengan memperluas objek pajak dan meningkatkan tarif pajak,” ujar Prianto kepada Liputan6.com, Jumat (22/12/2024).

Baca artikel selengkapnya di sini


Source link

051367500_1562145738-yayaya_oke.jpg

Jepang Bakal Kucurkan Stimulus Rp 2.229 Triliun, Ini Tujuannya

Bursa saham Asia Pasifik sebagian besar menguat pada Jumat, 22 November 2024. Penguatan bursa saham Asia Pasifik mengikuti reli wall street. Di wall street, indeks S&P 500 catat kenaikan selama empat hari berturut-turut.

Mengutip CNBC, indeks Hang Seng ditutup turun 2,2 persen. Sedangkan indeks CSI 300 melemah menjadi 3,1 persen hingga ditutup ke posisi 3.865,7.

Head of China Equity Strategy Macquarie Capital, Eugene Hsiao menuturkan, investor mungkin mengambil pendekatan menunggu dan melihat sambil menunggu kejelasan mengenai tarif Amerika Serikat-China. Ia menilai, pengumuman stimulus tambahan dari Beijing mungkin tidak akan datang hingga pertemuan parlemen berikutnya pada Maret.

Investor di Asia juga menilai data indeks harga konsumen Jepang pada Oktober. Inflasi inti tidak termasuk harga makanan segar yang bergejolak naik 2,3 persen dari tahun lalu, sedikit di atas perkiraan 2,2 persen, menurut analis yang disurvei oleh Reuters. Angka tersebut lebih dingin dari 2,4 persen pada bulan sebelumnya.

Consumer Price Index (CPI) secara keseluruhan mencapai 2,3 persen dibandingkan 2,5 persen pada September. Indeks Nikkei 225 di Jepang melonjak 0,68 persen hingga ditutup ke posisi 38.283,85. Indeks Topix menguat 0,51 persen ke posisi 2.696,53.

Indeks Kospi di Korea Selatan naik 0,83 persen menjadi 2.501,24. Indeks Kosdaq turun 0,54 persen ke posisi 677,01.

Di sisi lain, Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura pada kuartal ketiga naik 5,4 persen dari tahun lalu, jauh melampaui revisi 3 persen pada kuartal sebelumnya. Berdasarkan data QoQ, ekonomi tumbuh 3,2 persen, naik dari 0,5 persen pada kuartal kedua, menurut Kementerian Perdagangan dan Industri.

Singapura juga menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menajdi 3,5 persen dari 2-3 persen.


Source link

080833100_1422933463-Ilustrasi-Pajak-150203-andri.jpg

PPN 12% Bakal Berlaku pada 2025, Ini Tanggapan Pengamat

Liputan6.com, Jakarta – Praktisi Perpajakan Ronsi B Daur menyoroti terkait kebijakan Pemerintah mengenai kenaikan PPN menjadi 12% yang akan dilakukan per 1 Januari 2025.

Ronsi menjelaskan, kenaikan PPN sebesar 12% sebenarnya sudah diundangkan melalui UU No 7 Tahun 2021 (Bab 4 Pasal 7 ayat 1 huruf b), Mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang bunyinya:

(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebesar 11% yang mulai berlaku pada 1 April 2022; sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

Basis penghitungan APBN 2025 salah satu landasan pijaknya adalah UU No 7 tersebut. Maka tidak menafikan UU tersebut telah berlaku sejak, 29 Oktober 2021, berdasarkan kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. 

“Artinya, suka tidak suka mau tidak mau harus dijalankan. Pertanyaannya kemudian, dengan melihat makro ekonomi yang tidak menentu, daya beli yang melemah apakah kita tetap kekeh menaikan PPN tersebut?” ujar Ronsi dalam tulisannya, dikutip Jumat (22/11/2024).

Dia menuturkan, berdasarkan Bab 4 Pasal 7 ayat 4 UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), dimungkinkan untuk melakukan revisi dengan Peraturan Pemerintah. Yakni Pasal 7 ayat 4 UU tersebut berbunyi “Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Ratryat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”

Kemudian ayat 3 nya berbunyi “Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen). Ini adalah mekanisme Perubahan APBN.

Selain itu, kalaupun melalui mekanisme Perubahan APBN terlalu rumit dan panjang, bisa melalui Adjustment Mechanism (Mekanisme Penyesuaian),  artinya Kementerian keuangan bisa menyesuaikan UU APBN yang telah di undangkan tentu berdasarkan konsultasi dan pertimbangan presiden. 

“Toh kita sudah berapa kali melakukan hal tersebut. Contohnya saat Pandemi Covid-19 tahun anggaran 2020,” ujar dia.

Di sisi lain, ia menilai jika pemerintah tidak segera mengatasi masalah ini maka akan menjadi rumit dan runyam. 

Lantaran masyarakat tidak punya kemampuan (daya beli) yang cukup untuk sekarang, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara rendah yakni korupsi, tidak transparan dan lainnya.

Selanjutnya, pengangguran meningkat (baik yang kelihatan maupun yang terselubung), aktivitas UMKM baru mulai merangkak, akibat hantaman Pandemi Covid-19, terjadi konflik beberapa negara yang mempengaruhi ekonomi nasional, suku bunga perbankan yang masih relatif tinggi. dan ketidakstabilan politik global pasca terpilihnya presiden AS.

“Sekecil apapun kenaikan PPN sangat berpengaruh terhadap konsumsi Masyarakat, yang ikutannya akan menurunkan jumlah PDB (Produk Domestik Bruto),” ujar dia.

Sebagaimana diketahui kontribusi Konsumsi mendekat 55% terhadap total PDB. Artinya kenaikan PPN 12% akan menurunkan konsumsi dan berhubungan langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang sudah disepakati 8% di proyeksi APBN 2025. 

 


Source link